ingetberita.com, Jakarta – Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perbaikan ketika pada kuartal kedua tahun ini angka Produk Domestik Bruto mencapai 7,07 persen berdasarkan pengumuman Badan Pusat Statistik. Momentum itu harus dijaga oleh seluruh pelaku ekonomi khususnya di sektor keuangan dengan meningkatkan penggunaan mata rupiah ketika bertransaksi di dalam negeri.
Hal itu dikatakan oleh Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti ketika menjadi pembicara kunci pada virtual seminar yang diselenggarakan oleh LPPI, sebuah lembaga pelatihan dan konsultasi di sektor keuangan.
Dalam kesempatan itu Destry menghimbau semua kalangan untuk menjaga momentum perbaikan ekonomi global sehingga memberi manfaat bagi ekonomi Indonesia. Salah satunya dengan cara menggunakan mata uang rupiah dalam setiap transaksi di dalam negeri.
Destry mengingatkan, pertumbuhan ekspor yang mencapai 31 persen masih menggunakan mata uang dolar sebagai alat transaksi dagang. “Penggunaannya 94 persen untuk ekspor dan impor 83 persen. Sementara ekspor kita dengan AS hanya sekitar 10 persen, dan impor hanya 5.2 persen,” paparnya, dalam virsem LPPI tersebut.
Untuk itu, ke depan, dengan semakin bervariasinya mitra dagang Indonesia, dan kerjasama perdagangan bilateral, pemerintah dan BI mulai mengatur strategi untuk bisa mengurangi ketergantungan pada dollar AS sebagai alat transaksi dengan mitra dagang Indonesia.
“Proses itu tidak mudah dan harus ada kesepahaman bagaimana cara kurangi ketergantungan terhadap dollar AS. Karena ekspor kita ke Tiongkok paling besar yakni 13,6 persen, dan impor kita paling besar 21,4 persen. Jadi poinnya adalah kita lihat bahwa variasi mitra dagang kita besar dan bagaimana kalau kita mulai melakukan bilateral agreement agar bisa transaksi dengan mata uang masing-masing dalam transaksi perdagangan,” jelas Destry.
Dia menambahkan, BI telah melakukan penguatan kerjasama penyelesaian transaksi dengan mata uang lokal (local currency settlement) dengan Jepang, Malaysia, dan Thailand. Dan sekarang ini BI juga sedang mencoba lakukan penguatan kerjasama penyelesaian transaksi dengan beberapa bank. “2021 baru kita aktifkan LCS dengan Jepang. Kita tau Jepang punya eksposur baik perdagangan maupun investasi,” imbuhnya.
Destry lebih lanjut juga mengatakan bahwa fokus pengembangan LCS masuk dalam framework BI terkait dengan upaya pengembangan pasar uang Indonesia menjadi lebih modern dan maju di era digital.
Pada kesempatan yang sama, Mirza Adityaswara, Direktur Utama LPPI mengatakan bahwa LCS adalah isu penting bagi negara berkembang seperti Indonesia. Otoritas moneter Indonesia, kata dia, selalu berupaya untuk melepaskan kebergantungan dari penggunaan dollar AS. “Hal itu sangat penting bagi Indonesia, maka dari itu BI sudah berkerjasama dengan beberapa negara di Asia Tenggara dan beberapa negara lain dalam hal ini,” kata dia.
Sementara itu, terkait pertumbuhan ekonomi, Destry menilai bahwa pencapaian pertumbuhan di Q2 tahun ini melampaui ekpektasi pasar. Pasar meyakini ekonomi Indonesia akan mengalami recovery ke arah yang lebih baik. Optimisme pasar bahkan melampaui prediksi bank sentral.
“Pertumbuhan di kuartal dua ini sudah beyond market expectation. Kita expect 6 persen, tetapi pertumbuhan sudah mencapai 7 persen. Ini sangat positif dan biasanya akan tercermin di pasar keuangan seperti apa,” kata Destry.
Dia menjelaskan bahwa perbaikan perekonomian Indonesia sejaland dengan pemulihan ekonomi global yang terus menunjukkan perbaikan secara signifikan. “Beberapa mitra dagang kita khususnya Tiongkok tumbuh 7.9 persen, AS tumbuh 12 persen,” sebut Destry.
Destry menegaskan bahwa perbaikan ekonomi secara global menunjukkan bahwa memang berbagai negara telah melakukan stimulius yang sangat besar. Dia mencontohkan Tiongkok yang telah mengalami adjustment sejak Q4 tahun 2020 lalu.
Maka dari itu, menurut Destry, strategi yang harus dilakukan Indonesia saat ekonomi mulai meningkat, adalah beradaptasi dengan perkembangan positif saat ini, kendati ditantang dengan varian delta. “Strategi kita adalah roding the wave. Dengan ekonomi yang meningkat, ini cerminkan ada agregat demand yang tinggi dan tentunya akan dorong komoditas dan ekspor kita,” jelasnya.
Destry mengingatkan, dari pertumbuhan Q2 sebesar 7,07 persen itu, kontribusi terbesarnya adalah konsumsi masyarakat yang mencapai 3,17 persen. Akan tetapi secara pertumbuhan sektoral, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 5 persen.
“Jadi investasi kita menjadi backbone pereknomian, karena tumbuh 7,54 persen (yoy). Ini didukung oleh konsumsi pemerintah dengan segala jenis stimulus dan pelonggaran fiskal sehingga menyumbangkan pertumbuhan 8.06 persen,” katanya.
Menariknya lagi, kata Destry, ekspor mampu mencetak pertumbuhan 32 persen, yang tentunya banyak didukung perbaikan ekon global. “Ini yang kita coba bagaimana manfaatkan secara optimal dalam rangka mendorong ekonomi kita,” imbuhnya.
BI, sebut Destry, sejauh ini mencatat Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) dalam kondisi yang sehat. Sehingga, walau Curent Account masih defisit tetapi relatif terkendali, didukung oleh masih adanya capital inflow, yang kendati melambat karena adanya penyesuaian global.
Selain itu, cadangan devisa Indonesia juga masih tercatat 130 miliar dollar AS, setara dengan 9 bulan dari impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia. Jauh di atas tracehold IMF yang sebesar 3 bulan. “Ini menggambarkan bahwa sektor eksternal kita strong karena pertumbuhan ekon di-backup ekspor kita,” jelas Destry.